Kamis, 20 Maret 2014

BULAN MENIKAH???


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir
(Ar-Ruum:21)

Pasti sering melihat ayat tersebut atau mungkin udah ada yang hafal? Biasanya ayat tersebut berada di sampul belakang undangan pernikahan. Tangan ini serasa gatal ingin menulis sesuatu tentang what I think in my mind.
Bulan dulhijah sudah berlalu tergantikan dengan datangnya bulan Muharram, masih ingat saat peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW  dari Mekkah ke Madinah. Tapi saya tidak akan membahas tentang bulan Muharram atau bisa diisebut juga dengan bulan syuro. Tapi mungkin sedikit share tentang kebiasaan pernikahan yang dilaksanakan pada bulan Dulhijah.

Dulu saya sering bertanya pada ibu mengapa kalau lebaran haji banyak orang-orang menikahkan anaknya, dan selalu jawaban beliau adalah karena bulan ‘besar’ (sebutan sebagian orang Jawa pada bulan Dulhijah) adalah bulan yang bagus. Bagus? Dalam segi apa bagusnya? Kenapa bulan Ramadhan yang sangat bagus itu jarang sekali orang-orang mengadakan hajatan padahal menikah di bulan Ramadhan bisa menghemat biaya resepsi dsb, karena orang-orang pada puasa (hhee :) ). Itulah pertanyaan yang pernah dulu aku ajukan saat masih SMP, dan aku sudah melupakannya seiring waktu yang kian makin cepat.
Dengan usia yang semakin bertambah ini, aku jadi berfikir mungkinkah akan melaksanakan pernikahan ketika bulan Ramadhan? Coba bayangin, bisa menghemat pengeluaran resepsi, buat makan, minum, snack. Kita hanya membayar jasa penghulu dan surat-surat saja, it’s so very cheaper dari pada harus melakukan resepsi di hari lain. Itu otak hidup ekonomis yang pernah terlintas :)
Tapi kadang pikiran tak semudah realitanya. Kalau orang Jawa menganggap hal yang tabu ketika melaksanakan hajatan di bulan Ramadhan. Dan saya masih penasaran, mengapa?

Pernah belajar fiqh munakahat, di sana tidak dijelaskan larangan melangsungkan pernikahan pada bulan Ramadhan pun tak ada hadist atau ayat yang menjelaskan larangan tersebut. Bahkan, ketika pihak ikhwan maupun akhwat sudah siap untuk melangsungkan pernikahan dan sudah cocok satu sama lain diharuskan segera melaksanakan moment teragung itu. Menundanya membuat hati pihak ikhwan dan akhwat akan ternodai karena syetan sangatlah cerdik menggodanya.
Well, tak ada aturan kan mau menikah bulan apa? :)

“ Katakanlah, “ Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cinta dari pada
Allah Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang
fasik “ (QS At-Taubah: 24)



Tulisan ini hanya sharing, makasih :)

At-Tiin, I will come back ,,,

Perjalanan ini saya lakukan secara tidak sengaja pada tanggal 22 Desember 2013 kemarin. Awalnya saya hanya berniat menemani teman saya untuk mengurus surat-surat pindah nama motornya yang telah dibelinya beberapa bulan yang lalu di samsat Kota Bekasi. Teman saya harus mengurus surat-surat terlebih dahulu di Bekasi karena dia membeli motor tersebut dengan orang Bekasi lewat sebuah toko online di internet, sehingga mau tak mau harus bolak balik Jakarta-Bekasi.
Sampai di samsat Bekasi sekitar pukul 12.00 siang, dan kita harus kecewa pelayanan dihentikan karena jam istirahat. Akhirnya kita memutuskan untyk shalat secara bergantian. Aku menunggu dia sekitar 2 jam, dan akhirnya sudah beres tinggal mengurus yang di samsat Jaksel untuk besoknya. Karena tidak mungkin dilakukan hari ini, mengingat jam yang sudah menunjukkan pukul 14.00, samsat akan tutup karena jam kerja sudah habis. Dan tidak mungkin juga, karena perjalanan dari Bekasi ke Jakarta memakan waktu 2 jam lebih.
Akhirnya kita memutuskan untuk pulang. Di sepanjang perjalanan, aku mengingat-ingat daerah sekitar Bekasi ini. Mulai dari Megamall Bekasi sampai Islamic Center,seperti mengulang kejadian lama yang dulu saya pernah kesini sebelumnya.
Tak hanya mengulang kejadian lama tersebut, yang tidak kalah seru adalah ketika saya melewati Masjid Iqra’ Center Bekasi. Masjid yang sudah tak asing bagi kalangan P**, masjid yang didirikan oleh ustadz almarhum Rahmat Abdullah. Di masjid ini juga yang menjadi tempat syuting film “Sang Murabbi” yang menceritakan perjalanan sang ustadz hingga beliau wafat.
Film ini sudah sejak lama saya menontonnya, sekitar kelas 3 SMA waktu itu dengan teman akhwa-akhwat rohis di rumah salah satu teman setelah acara kajian. Begitu takjubnya saya waktu melihat film tersebut, menangis karena terharu dan sejak saat itu ketika menonton film itu lagi semangat menjadi terbarukan kembali.
Terima kasih juga kepada teman saya yang telah mengajak saya ke Bekasi (lagi) sehingga berjumpalah aku dengan masjid ini.
Sejam kemudian kami sudah memasuki wilayah Jakarta Timur yang merupakan perbatasan dengan Kota Bekasi, meski kita tidak melewati jalur berangkat tadi, alhamdulillah kita tidak tersesat di keramaian ibukota. Jam tangan menunjukkan pukul 15.00 kami memutuskan untuk beristirahat dulu. Dan kami pilih masjid At-Tiin TMII sebagai tempat berteduh kami dari panasnya ibukota. Sambil menunggu adzan ashar berkumandang, kita berkeliling sekitar masjid yang lumayan luas ini tapi seluas masjid Istiqlal. Dilihat dari arsitekturnya tampak masjid ini sudah lama dibangun.
“Masjid ini adalah bukti cinta presiden Soeharto kepada istrinya Ibu Tin”, kata teman saya sok tahu mungkin karena dia sudah pernah kesini  sebelumnya. Lumayan luas dan arsitektur nya yang beda dari masjid yang lain nya. Lorong-lorong depan masjid ini mirip sekali dengan masjid  UGM Jogja. Mumpung belum adzan, saya keluarkan hobi saya yang tak pernah ketinggalan kalau saya pergi ke sesuatu tempat, yaitu kamera.
Meski kamera dari handphone namun saya suka memotret dari sini karena terbilang jernih kameranya. Inilah hasilnya J


  
(masjid At-Tiin tampak dari depan)


(tampak dari samping)



(kata temen, itu pohon kurma :) )


(foto: jejak kaki kanan penjejak, hehehe :)

Rabu, 11 Desember 2013

If I had my child to raise over again

If I had my child to raise over again,
I'd finger print more, and point the finger less.
I'd do less corerrecting, and more connecting.
I'd take my eyes off my watch, and watch more with my eyes.
I would care to know less, and know to care more.
I'd take more hikes and fly more kites.
I'd stop playing serious, and seriously play.
I would run through more fields, and gaze at more stars.
I'd do more hugging, and less tugging.
I would be firm less often, and affrim much more.
I'd build self-esteem first, and the house later.
I'd teach less about the love power,
And more about the power of love

-Dianne Loomans-

Senin, 04 November 2013

November Rain

Tak terasa akhir-akhir ini selalu turun hujan tiap siang menjelang sore, dari akhir Oktober yang lalu sampai sekarang, awal November. Musim sudah mulai memasuki penghujan. Ketika hari pertama turun hujan, seolah panas yang menyengat selama beberapa bulan ini sirna sudah. Tapi hujan sepertinya membawa pendapat tersendiri dari sebagian orang, apalagi Jakarta yang tiap tahun selalu mengalami banjir. Entah kiriman dari Bogor, banjir rob atau banjir yang benar-benar dari air hujan.

Tapi saya gag akan bahas masalah banjir, ceritanya bisa panjang dan kali lebar. you know what I mean :) 

Aku suka hujan, judul blog yang pernah aku tulis sebelumnya. why? ketika hujan saya adalah waktu yang paling romantis di dunia. karena mungkin di saat itulah Allah menurunkan berkah kepada sekalian alam dengan banyak rahmat-Nya. dengan air hujan itulah tumbuh bermacam-macam tumbuhan dari muka bumi, air yang mengalir dari sungai-sungai yang sebelumnya telah mengering. 

terus apa hubungannya romantis dengan rahmat Allah? sepertinya tidak nyambung hehe...
menurut saya yang melankolis tetep saja nyambung :P

hal yang paling dikhawatirkan ketika hujan adalah tak ada cadangan kaos kaki yang banyak, atau lupa membawa payung kemana-mana. apalagi ditambah ketika hujan turun yang datangnya di sore hari bertepatan dengan jadwal mengajar saya yang jauh dari kosan. membuat saya harus ekstra membawa persiapan dari segala macam seperti kaos kaki, payung, tas rain cover. 

saya suka hujan. tapi anehnya ketika kehujanan langsung masuk angin kadang flu maupun batuk. sebenarnya apa yang salah? itulah saya berfikir kenapa dulu selalu dilarang hujan-hujanan sama ibu.

keromantisan bertambah ketika kehujanan di kampus itu rasanya seperti mendapatkan sesuatu dari langit. sambil menelusuri koridor kampus dari perpustakaan umum di hari menjelang malam itulah hujan yang paling indah :)

ditulis ketika lagi pusing tugas UTS dan bahkan saat ini hujan pun tak turun :(

Selasa, 08 Oktober 2013

Bening Muara Cinta

Bagian 1

            Jika menatapmu saja aku enggan, bagaimana aku bisa mengabdikan seluruh hidupku padamu ? Pernikahan ini bukan kehendakku, tetapi kehendak ibuku. Seharusnya kau menikah saja dengan ibuku bukan aku. Selalu kata itu yang kukatakan padamu. Pada lelaki yang sebenarnya sah secara hukum maupun agama. Lelaki yang seharusnya aku hormati, sebagai imam dalam perjalanan meniti kehidupan yang bernama, suami.
Aku tak tahu istri macam apa aku ini, tidak pernah mau disentuhnya meski pernikahan sudah hampir 2 tahun kami jalani. Hal itu yang membuat ibuku resah karena dia ingin sekali memperoleh keturunan dariku dan dari suami pilihannya.
“Ibu hanya mencarikan jodoh yang terbaik buatmu, Diah. Tak ada maksud untuk mencelakakanmu apalagi menjerumuskanmu,” ujarnya selalu.
“Dia lelaki yang bisa jadi imam bagi keluargamu nanti. Darinyalah kamu bisa mendapatkan ketenangan lahir maupun batin. Dia yang akan bisa membimbingmu sampai ke akhirat nanti. Tak ada ibu yang tega hati akan mencelakai anaknya, Diah”.
Selalu itu yang Ibu yang bicarakan. Menasehatiku dengan segala dalihnya, tak pernah mau mendengarkan pendapatku. Aku juga ingin memiliki seorang suami atas pilihanku sendiri. Pernikahan yang berdasarkan rasa cinta yang selalu aku dambakan sejak masuk bangku kuliah.
Tapi kini kandas, gara- gara ibuku. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seorang yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Melihatnya pun tidak pernah.
Dan kini selama 2 tahun berlalu aku belum bisa menerimanya. Menerima keputusan ibu. Keputusan yang selalu aku anggap konyol dan tak pernah masuk akal bagiku. Jiwaku selalu berontak, onak!
“Ibu percayakan Diah padamu ya, San jaga dia baik-baik” nasehatnya yang sok bijak ketika melepasku untuk pergi ke Jogja, ke rumah impian kami.
Abdullah Hasan, mendengar namanya saja belum pernah. Kini pria itu yang setiap malam akan tidur di sampingku. Ahh..mengerikan!
“Abang tidak memaksamu untuk mencintai abang,de” katanya sewaktu dulu malam pertama setelah resepsi pernikahan kami.
“Abang hanya ingin bisa menjagamu dan membahagiakanmu. Izinkan abang melakukan hal itu,” katanya sambil berlalu dari tempat tidur kami.
Aku pikir kita akan melakukan hubungan badan yang biasanya pengantin baru lakukan. Tapi tidak, aku lega. Malam itu aku tertidur pulas dan tak ku dapati Bang Hasan tidur di sampingku. Alhamdulillah...
Paginya setelah selesai sholat subuh aku merapikan ‘kamar pengantin’ dan tak ada Bang Hasan. Tidur dimana dia? Apa mungkin dia tidur di ruang tamu? Pikirku. Ah sejak kapan aku memperdulikan dia, ga ada satu alasan pun untuk memikirkan dia.
Setelah bebenah dan mandi yang kebetulan kamar mandi ada di dalam kamar tidur, aku langsung keluar kamar. Nihil, tak ku dapati Bang Hasan. Biarkan saja.
Aku langsung masuk dapur untuk merebus air dan membersihkan dapur yang keadaannya seperti lama ditinggal oleh pemiliknya. Ya, memang Bang Hasan 1 minggu ini pulang ke Solo, ke rumah orang tuanya untuk mempersiapkan segala kebutuhan pernikahan kami. Dan otomatis dia juga meninggalkan pekerjaannya di kantor telekomunikasi tempat dia bekerja, lebih tepatnya cuti.
“Assalamualaikum,,” tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah Bang Hasan dari balik pintu.
“Waalaikumsalam” aku jawab salamnya dari dalam dapur kemudian fokus lagi pada pekerjaanku. Darimana dia? Semalam dia tidur dimana? Ahh aku tak peduli apapun yang dia lakukan.
“De, bisa buatkan abang segelas teh hangat?” pintanya. Aku berdehem. Aku tidak akan berbicara dengannya, meskipun kami sudah menikah. Sekali lagi, pernikahan ini tidak pernah ku inginkan sebelumnya.
Lama aku menunggu air matang, sambil aku buat racikan teh dan gula di dua gelas. 10 menit kemudian aku mengantarkan teh panas itu ke ruang tamu. Kosong, tak ku dapati Bang Hasan duduk di sana. Oh mungkin dia di teras depan rumah, pikirku. Sejurus kemudian aku kesana, tak ada. Kemana dia?
Rumah mungil kami terletak di pinggir kota Jogja yang asri dan adem, hawanya sama seperti rumahku di Solo. Halaman depan tampak bunga bougenville merah muda disana sini dan pohon mangga gadung yang  sedang berbunga. Jumlahnya sekitar tiga pohon mangga gadung dan satu pohon mangga manalagi yang masih kecil namun sudah berbuah.
Cabe rawit di pot yang sedang berbuah itu tak kalah meramaikan asrinya rumah mungil kami. Hampir setiap pinggir halaman rumah ada pot cabenya. Mungkin Bang Hasan suka bercocok tanam sehingga bisa seperti ini. Lumayanlah menghemat pengeluaran untuk membeli cabe yang harganya lagi meroket.
Aku taruh teh panas ini di atas meja di teras rumah. Bang Hasan tidak ada, kemana perginya lagi? Merepotkan saja, susah-susah aku bikinkan teh eh dia pergi lagi entah kemana. Aku gondok.
Sekilas aku ingat Nur sahabatku di Solo, aku lupa memberitahunya kalau aku sudah sampai di Jogja. Kemudian aku bergegas mengambil handphone ku di kamar.
Krrreeeekkk,,,pintu kamar tidak tertutup rapat dan seingatku tadi aku sudah menutupnya, aku kunci malah. Aku langsung masuk, dan tertegun sejenak ketika di tempat tidur aku dapati Bang Hasan tertidur pulas. Oh dia di sini rupanya. Aku langsung mengambil hp-ku yang tergeletak di atas meja.
∞ ∞ ∞
Usia pernikahan kita memang sudah terbilang lama, 2 tahun. Selama itu pulalah belum ada rasa cinta sedikitpun untuk Bang Hasan yang bertengger di hatiku. Mungkin karena aku tidak berniat mencintainya.
Selama 2 tahun itu kita tidak pernah mengobrol, bicara hanya seperlunya saja. Pernikahan macam apa ini, aku masih selalu saja menyalahkan ibuku. Pernah suatu hari aku telpon ibu dan aku jelaskan maksudku untuk bercerai dengan Bang Hasan. Tapi lagi-lagi ibu selalu memarahiku.
“Diah, perceraian itu sangat tidak dianjurkan dalam agama kita. Dengan alasan apa kamu minta cerai dari suamimu? Apa alasanmu itu masuk akal?” cerca Ibu. Aku tahu, ibu tidak akan pernah tinggal diam jika ada sedikit keburukan saja. Selain berlatarbelakang pesantren di keluarganya juga tidak ada yang bercerai dari keturunan neneknya. Itulah sebabnya ibu selalu mewanti-wanti agar tidak ada yang bercerai di keluarga anak-anaknya nanti.
“Semua masalah  pernikahan bisa diselesaikan tapi bukan dengan jalan perceraian”,gertak ibu.
Jika Ibu sudah bilang seperti itu, aku tak punya alasan apapun menolaknya. Aku tidak mau dianggap anak durhaka. Yang aku tahu sebutan sepeti itu hanya pantas untuk tokoh Malin Kundang dalam cerita rakyat, bukan untuk aku.
Dengan manggut dan mengiyakan semua permintaan ibu adalah jalan satu-satunya aku tidak disebut anak durhaka. Meski dunia seperti neraka jahanam karena pilihan Ibu begitu juga pernikahan ini.  Mungkin hal itu juga yang dirasakan oleh kedua kakakku. Menikah atas pilihan ibu.
Di keluarga kami ibu yang sangat berperan menentukan semua pilihan hidup kami bertiga, putri-putrinya. Ayah pasti juga akan mengiyakan apa perkataan ibu. Aku juga masih tidak percaya masih ada aja orang tua yang kolot.
Sehari-hari aku hanya berkutat di dalam dapur, masak, nyuci, ngepel, nyapu dan bersih-bersih. Aku juga harus merawat tanaman yang sudah ditanam Bang Hasan di depan halaman maupun belakang rumah. Sayang kalau tidak dirawat. Bunga-bunga akan bermekaran di musim penghujan seperti musim semi di Jepang. 
Sebenarnya aku adalah lulusan sarjana teknik sipil di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo. Berhubung setelah lulus kuliah aku langsung dinikahkan dengan Bang Hasan jadi tak sempat aku mengabdikan ilmu yang selama ini aku peroleh di bangku kuliah ke masyarakat. Sayang banget sebenarnya, percuma saja aku kuliah capek-capek dan berakhir menjadi ibu rumah tangga.
Sempat keinginanku bekerja aku bicarakan dengan Bang Hasan, namun ditolaknya. Alasannya adalah karena dia masih bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga. Menurutku bukan hanya cukup namun juga berlebih. Wajar, itu karena jabatan dia sebagai atasan di kantornya dan karirnya sudah memuncak sejak dia diterima bekerja di kantor telekomunikasi itu.
Pintar, namun juga tetap rendah hati. Kaya namun tidak pernah sombong. Narimo ing pandum dan juga bagus akhlaknya, itu kata Ibu beberapa hari setelah perkenalan kami dulu. Itu yang kurasakan selama 2 tahun ini. Mungkin tepat pilihan ibu ini. Namun mengapa cinta belum bisa hadir  di hatiku?
Selama 2 tahun itu tak pernah Bang Hasan memarahiku. Jika aku membuat kesalahan, dia hanya senyum tipis dan menenangkan bahwa kesalahanku itu bisa diperbaiki. Misalnya, ketika aku sedang menyetrika sambil menonton tv, aku selalu menghanguskan salah satu bajunya atau bajuku yang sedang disetrika karena aku hanya asyik menonton tv tanpa memperhatikan setrikaan. Jika sudah begitu dia hanya akan tersenyum mendapati bajunya ada yang robek.
Lain waktu kesalahan yang sering aku perbuat adalah lupa menyalakan tombol on di rice cooker ketika menanak nasi. Alhasil, ketika perut sudah keroncongan dan nasi belum matang pun dia tetap tersenyum.
Aku mengerutkan dahi ketika mengingat semua keteledoranku dalam mengerjakan sesuatu. Kadang aku memarahi diriku sendiri mengapa kebiasaanku satu ini sulit sekali hilang. Bahkan sampai berumah tangga sekarang ini. Diah, Diah ngidam apa dulu ketika Ibu mengandung kamu. Tapi anehnya, selalu senyum yang ku dapati dari seorang yang ku sebut suami itu dengan ke-tulalitan-ku itu.
∞ ∞ ∞

Rabu, 05 Juni 2013

Bisik-Bisik yang Jadi Berisik dan Nikmat Ukhuwah yang Kian Terusik


“Ada pula hambatan, persis di depan retinamu, ia adalah kesalahan kawan selangkah seperjuangan yang begitu besar terlihat oleh kesombonganmu melebihi besarnya pengorbanan yang telah ia persembahkan bersamamu dalam langkah yang semakin menjauh ini.”

Sebuah kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang selain dari diri kita, disadari atau (pura-pura?) tak disadari terkadang begitu nikmat untuk dijadikan sebagai tema perbincangan. Kita lantas mengambil dalih dalam rangka evaluasi dan perbaikan untuk ke depannya. Perlahan kita berbisik bersama kawan seperjuangan lainnya tentang si fulan yang bersikap begini dan si fulanah yang mengambil keputusan begitu. Tentang si akhi yang sedang khilaf dan si ukhti yang sedang keliru. Tak ada ruang untuk berbaik sangka sebab kita punya dalih bahwa buruk sangkanya kita itu muncul tidak dengan sendirinya alias diundang sendiri oleh yang diburuksangka-i.

Bisikan, ikhwatifillah, betapapun halusnya, jika tentang sebuah kesalahan kawan seperjuangan adalah sembilu yang mampu menusuk dan mengoyak ukhuwah. Periksalah niat kita dalam mengucapkan kata, benarkah ia lahir dari keinginan untuk memperbaiki keadaan atau justru sedang menegaskan kesalahan kawan? Adakah keikhlasan yang kita upayakan saat menyampaikan pilihan-pilihan tentang perbaikan atau malah kita sedang memperlihatkan bahwa kita ini yang paling hebat dan punya beragam solusi untuk setiap permasalahan yang datang menghampiri?

Dalam dakwah dan organisasi dakwah, ada hal yang peting. Namun, ada juga beragam hal yang jauh lebih penting. Ada hal yang mendesak. Namun, tidak sedikit pula hal yang jauh lebih mendesak. Apakah berbisik-bisik tentang kesalahan kawan seperjuangan adalah sebuah kepentingan yang mendesak?

Ikhwatifillah, Andai ketika kita bercermin, kita temukan sebuah wajah yang ternoktah, apakah kita akan memilih untuk buru-buru menghapus noktah dalam cermin dengan cara menggosok-gosok cermin itu? Atau kita banting saja cerminnya sebab telah begitu berani memperlihatkan tampilan wajah yang tidak elok?

Orang-orang yang cerdas tentu akan segera bergegas membasuh muka mereka sebab tahu betul bahwa yang ada pada cermin itu adalah wajahnya. Dan betapa bijak sang Nabi berkata: “Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain. Apabila ada aib, maka ia memperbaikinya.” (H.R. Bukhari).

Senin, 27 Mei 2013


Banyak cinta yang akan ku ucapkan. Banyak rasa syukur yang akan ku panjatkan. Banyak nikmat yang akan ku syukuri. Banyak nada yang ingin aku nyanyikan. Banyak tuts-tuts kehidupan yang akan aku ciptakan. Banyak melodi asa yang akan aku raih. Banyak lagi, dan masih banyak...

Namun mengapa hati ini kelu dan membeku saat  asa dan rasa ingin mengungkap. Bukan hanya  sekarang, tapi sejak dulu. Entah apakah bawaan dari lahir atau memang begini sifat asliku.

Menyendiri, hanya itu obat satu-satunya yang akan ku jalani dengan serentetan bisu dan tanya. Apakah aku pantas mengungkapnya atau tidak saat dunia begitu tak adil. Bukan menyalahkan Tuhan, namun menyalahkan diri yang tak bisa bergeming saat seperti ini. 

Mengapa? Dan mengapa? Mengapa lagi?