Selasa, 08 Oktober 2013

Bening Muara Cinta

Bagian 1

            Jika menatapmu saja aku enggan, bagaimana aku bisa mengabdikan seluruh hidupku padamu ? Pernikahan ini bukan kehendakku, tetapi kehendak ibuku. Seharusnya kau menikah saja dengan ibuku bukan aku. Selalu kata itu yang kukatakan padamu. Pada lelaki yang sebenarnya sah secara hukum maupun agama. Lelaki yang seharusnya aku hormati, sebagai imam dalam perjalanan meniti kehidupan yang bernama, suami.
Aku tak tahu istri macam apa aku ini, tidak pernah mau disentuhnya meski pernikahan sudah hampir 2 tahun kami jalani. Hal itu yang membuat ibuku resah karena dia ingin sekali memperoleh keturunan dariku dan dari suami pilihannya.
“Ibu hanya mencarikan jodoh yang terbaik buatmu, Diah. Tak ada maksud untuk mencelakakanmu apalagi menjerumuskanmu,” ujarnya selalu.
“Dia lelaki yang bisa jadi imam bagi keluargamu nanti. Darinyalah kamu bisa mendapatkan ketenangan lahir maupun batin. Dia yang akan bisa membimbingmu sampai ke akhirat nanti. Tak ada ibu yang tega hati akan mencelakai anaknya, Diah”.
Selalu itu yang Ibu yang bicarakan. Menasehatiku dengan segala dalihnya, tak pernah mau mendengarkan pendapatku. Aku juga ingin memiliki seorang suami atas pilihanku sendiri. Pernikahan yang berdasarkan rasa cinta yang selalu aku dambakan sejak masuk bangku kuliah.
Tapi kini kandas, gara- gara ibuku. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seorang yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Melihatnya pun tidak pernah.
Dan kini selama 2 tahun berlalu aku belum bisa menerimanya. Menerima keputusan ibu. Keputusan yang selalu aku anggap konyol dan tak pernah masuk akal bagiku. Jiwaku selalu berontak, onak!
“Ibu percayakan Diah padamu ya, San jaga dia baik-baik” nasehatnya yang sok bijak ketika melepasku untuk pergi ke Jogja, ke rumah impian kami.
Abdullah Hasan, mendengar namanya saja belum pernah. Kini pria itu yang setiap malam akan tidur di sampingku. Ahh..mengerikan!
“Abang tidak memaksamu untuk mencintai abang,de” katanya sewaktu dulu malam pertama setelah resepsi pernikahan kami.
“Abang hanya ingin bisa menjagamu dan membahagiakanmu. Izinkan abang melakukan hal itu,” katanya sambil berlalu dari tempat tidur kami.
Aku pikir kita akan melakukan hubungan badan yang biasanya pengantin baru lakukan. Tapi tidak, aku lega. Malam itu aku tertidur pulas dan tak ku dapati Bang Hasan tidur di sampingku. Alhamdulillah...
Paginya setelah selesai sholat subuh aku merapikan ‘kamar pengantin’ dan tak ada Bang Hasan. Tidur dimana dia? Apa mungkin dia tidur di ruang tamu? Pikirku. Ah sejak kapan aku memperdulikan dia, ga ada satu alasan pun untuk memikirkan dia.
Setelah bebenah dan mandi yang kebetulan kamar mandi ada di dalam kamar tidur, aku langsung keluar kamar. Nihil, tak ku dapati Bang Hasan. Biarkan saja.
Aku langsung masuk dapur untuk merebus air dan membersihkan dapur yang keadaannya seperti lama ditinggal oleh pemiliknya. Ya, memang Bang Hasan 1 minggu ini pulang ke Solo, ke rumah orang tuanya untuk mempersiapkan segala kebutuhan pernikahan kami. Dan otomatis dia juga meninggalkan pekerjaannya di kantor telekomunikasi tempat dia bekerja, lebih tepatnya cuti.
“Assalamualaikum,,” tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah Bang Hasan dari balik pintu.
“Waalaikumsalam” aku jawab salamnya dari dalam dapur kemudian fokus lagi pada pekerjaanku. Darimana dia? Semalam dia tidur dimana? Ahh aku tak peduli apapun yang dia lakukan.
“De, bisa buatkan abang segelas teh hangat?” pintanya. Aku berdehem. Aku tidak akan berbicara dengannya, meskipun kami sudah menikah. Sekali lagi, pernikahan ini tidak pernah ku inginkan sebelumnya.
Lama aku menunggu air matang, sambil aku buat racikan teh dan gula di dua gelas. 10 menit kemudian aku mengantarkan teh panas itu ke ruang tamu. Kosong, tak ku dapati Bang Hasan duduk di sana. Oh mungkin dia di teras depan rumah, pikirku. Sejurus kemudian aku kesana, tak ada. Kemana dia?
Rumah mungil kami terletak di pinggir kota Jogja yang asri dan adem, hawanya sama seperti rumahku di Solo. Halaman depan tampak bunga bougenville merah muda disana sini dan pohon mangga gadung yang  sedang berbunga. Jumlahnya sekitar tiga pohon mangga gadung dan satu pohon mangga manalagi yang masih kecil namun sudah berbuah.
Cabe rawit di pot yang sedang berbuah itu tak kalah meramaikan asrinya rumah mungil kami. Hampir setiap pinggir halaman rumah ada pot cabenya. Mungkin Bang Hasan suka bercocok tanam sehingga bisa seperti ini. Lumayanlah menghemat pengeluaran untuk membeli cabe yang harganya lagi meroket.
Aku taruh teh panas ini di atas meja di teras rumah. Bang Hasan tidak ada, kemana perginya lagi? Merepotkan saja, susah-susah aku bikinkan teh eh dia pergi lagi entah kemana. Aku gondok.
Sekilas aku ingat Nur sahabatku di Solo, aku lupa memberitahunya kalau aku sudah sampai di Jogja. Kemudian aku bergegas mengambil handphone ku di kamar.
Krrreeeekkk,,,pintu kamar tidak tertutup rapat dan seingatku tadi aku sudah menutupnya, aku kunci malah. Aku langsung masuk, dan tertegun sejenak ketika di tempat tidur aku dapati Bang Hasan tertidur pulas. Oh dia di sini rupanya. Aku langsung mengambil hp-ku yang tergeletak di atas meja.
∞ ∞ ∞
Usia pernikahan kita memang sudah terbilang lama, 2 tahun. Selama itu pulalah belum ada rasa cinta sedikitpun untuk Bang Hasan yang bertengger di hatiku. Mungkin karena aku tidak berniat mencintainya.
Selama 2 tahun itu kita tidak pernah mengobrol, bicara hanya seperlunya saja. Pernikahan macam apa ini, aku masih selalu saja menyalahkan ibuku. Pernah suatu hari aku telpon ibu dan aku jelaskan maksudku untuk bercerai dengan Bang Hasan. Tapi lagi-lagi ibu selalu memarahiku.
“Diah, perceraian itu sangat tidak dianjurkan dalam agama kita. Dengan alasan apa kamu minta cerai dari suamimu? Apa alasanmu itu masuk akal?” cerca Ibu. Aku tahu, ibu tidak akan pernah tinggal diam jika ada sedikit keburukan saja. Selain berlatarbelakang pesantren di keluarganya juga tidak ada yang bercerai dari keturunan neneknya. Itulah sebabnya ibu selalu mewanti-wanti agar tidak ada yang bercerai di keluarga anak-anaknya nanti.
“Semua masalah  pernikahan bisa diselesaikan tapi bukan dengan jalan perceraian”,gertak ibu.
Jika Ibu sudah bilang seperti itu, aku tak punya alasan apapun menolaknya. Aku tidak mau dianggap anak durhaka. Yang aku tahu sebutan sepeti itu hanya pantas untuk tokoh Malin Kundang dalam cerita rakyat, bukan untuk aku.
Dengan manggut dan mengiyakan semua permintaan ibu adalah jalan satu-satunya aku tidak disebut anak durhaka. Meski dunia seperti neraka jahanam karena pilihan Ibu begitu juga pernikahan ini.  Mungkin hal itu juga yang dirasakan oleh kedua kakakku. Menikah atas pilihan ibu.
Di keluarga kami ibu yang sangat berperan menentukan semua pilihan hidup kami bertiga, putri-putrinya. Ayah pasti juga akan mengiyakan apa perkataan ibu. Aku juga masih tidak percaya masih ada aja orang tua yang kolot.
Sehari-hari aku hanya berkutat di dalam dapur, masak, nyuci, ngepel, nyapu dan bersih-bersih. Aku juga harus merawat tanaman yang sudah ditanam Bang Hasan di depan halaman maupun belakang rumah. Sayang kalau tidak dirawat. Bunga-bunga akan bermekaran di musim penghujan seperti musim semi di Jepang. 
Sebenarnya aku adalah lulusan sarjana teknik sipil di salah satu perguruan tinggi negeri di Solo. Berhubung setelah lulus kuliah aku langsung dinikahkan dengan Bang Hasan jadi tak sempat aku mengabdikan ilmu yang selama ini aku peroleh di bangku kuliah ke masyarakat. Sayang banget sebenarnya, percuma saja aku kuliah capek-capek dan berakhir menjadi ibu rumah tangga.
Sempat keinginanku bekerja aku bicarakan dengan Bang Hasan, namun ditolaknya. Alasannya adalah karena dia masih bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga. Menurutku bukan hanya cukup namun juga berlebih. Wajar, itu karena jabatan dia sebagai atasan di kantornya dan karirnya sudah memuncak sejak dia diterima bekerja di kantor telekomunikasi itu.
Pintar, namun juga tetap rendah hati. Kaya namun tidak pernah sombong. Narimo ing pandum dan juga bagus akhlaknya, itu kata Ibu beberapa hari setelah perkenalan kami dulu. Itu yang kurasakan selama 2 tahun ini. Mungkin tepat pilihan ibu ini. Namun mengapa cinta belum bisa hadir  di hatiku?
Selama 2 tahun itu tak pernah Bang Hasan memarahiku. Jika aku membuat kesalahan, dia hanya senyum tipis dan menenangkan bahwa kesalahanku itu bisa diperbaiki. Misalnya, ketika aku sedang menyetrika sambil menonton tv, aku selalu menghanguskan salah satu bajunya atau bajuku yang sedang disetrika karena aku hanya asyik menonton tv tanpa memperhatikan setrikaan. Jika sudah begitu dia hanya akan tersenyum mendapati bajunya ada yang robek.
Lain waktu kesalahan yang sering aku perbuat adalah lupa menyalakan tombol on di rice cooker ketika menanak nasi. Alhasil, ketika perut sudah keroncongan dan nasi belum matang pun dia tetap tersenyum.
Aku mengerutkan dahi ketika mengingat semua keteledoranku dalam mengerjakan sesuatu. Kadang aku memarahi diriku sendiri mengapa kebiasaanku satu ini sulit sekali hilang. Bahkan sampai berumah tangga sekarang ini. Diah, Diah ngidam apa dulu ketika Ibu mengandung kamu. Tapi anehnya, selalu senyum yang ku dapati dari seorang yang ku sebut suami itu dengan ke-tulalitan-ku itu.
∞ ∞ ∞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar