Bagian 1
Jika menatapmu saja aku
enggan, bagaimana aku bisa mengabdikan seluruh hidupku padamu ? Pernikahan ini
bukan kehendakku, tetapi kehendak ibuku. Seharusnya kau menikah saja dengan
ibuku bukan aku. Selalu kata itu yang kukatakan padamu. Pada lelaki yang sebenarnya
sah secara hukum maupun agama. Lelaki yang seharusnya aku hormati, sebagai imam
dalam perjalanan meniti kehidupan yang bernama, suami.
Aku tak tahu istri macam apa aku ini, tidak pernah mau
disentuhnya meski pernikahan sudah hampir 2 tahun kami jalani. Hal itu yang
membuat ibuku resah karena dia ingin sekali memperoleh keturunan dariku dan
dari suami pilihannya.
“Ibu hanya mencarikan jodoh yang terbaik buatmu, Diah.
Tak ada maksud untuk mencelakakanmu apalagi menjerumuskanmu,” ujarnya selalu.
“Dia lelaki yang bisa jadi imam bagi keluargamu nanti.
Darinyalah kamu bisa mendapatkan ketenangan lahir maupun batin. Dia yang akan
bisa membimbingmu sampai ke akhirat nanti. Tak ada ibu yang tega hati akan
mencelakai anaknya, Diah”.
Selalu itu yang Ibu yang bicarakan. Menasehatiku dengan
segala dalihnya, tak pernah mau mendengarkan pendapatku. Aku juga ingin
memiliki seorang suami atas pilihanku sendiri. Pernikahan yang berdasarkan rasa
cinta yang selalu aku dambakan sejak masuk bangku kuliah.
Tapi kini kandas, gara- gara ibuku. Bagaimana mungkin aku
bisa menikah dengan seorang yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Melihatnya
pun tidak pernah.
Dan kini selama 2 tahun berlalu aku belum bisa
menerimanya. Menerima keputusan ibu. Keputusan yang selalu aku anggap konyol
dan tak pernah masuk akal bagiku. Jiwaku selalu berontak, onak!
“Ibu percayakan Diah padamu ya, San jaga dia baik-baik”
nasehatnya yang sok bijak ketika melepasku untuk pergi ke Jogja, ke rumah
impian kami.
Abdullah Hasan, mendengar namanya saja belum pernah. Kini
pria itu yang setiap malam akan tidur di sampingku. Ahh..mengerikan!
“Abang tidak memaksamu untuk mencintai abang,de” katanya
sewaktu dulu malam pertama setelah resepsi pernikahan kami.
“Abang hanya ingin bisa menjagamu dan membahagiakanmu. Izinkan
abang melakukan hal itu,” katanya sambil berlalu dari tempat tidur kami.
Aku pikir kita akan melakukan hubungan badan yang
biasanya pengantin baru lakukan. Tapi tidak, aku lega. Malam itu aku tertidur
pulas dan tak ku dapati Bang Hasan tidur di sampingku. Alhamdulillah...
Paginya setelah selesai sholat subuh aku merapikan ‘kamar
pengantin’ dan tak ada Bang Hasan. Tidur dimana dia? Apa mungkin dia tidur di
ruang tamu? Pikirku. Ah sejak kapan aku memperdulikan dia, ga ada satu alasan
pun untuk memikirkan dia.
Setelah bebenah dan mandi yang kebetulan kamar mandi ada
di dalam kamar tidur, aku langsung keluar kamar. Nihil, tak ku dapati Bang
Hasan. Biarkan saja.
Aku langsung masuk dapur untuk merebus air dan
membersihkan dapur yang keadaannya seperti lama ditinggal oleh pemiliknya. Ya,
memang Bang Hasan 1 minggu ini pulang ke Solo, ke rumah orang tuanya untuk
mempersiapkan segala kebutuhan pernikahan kami. Dan otomatis dia juga
meninggalkan pekerjaannya di kantor telekomunikasi tempat dia bekerja, lebih tepatnya
cuti.
“Assalamualaikum,,” tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah
Bang Hasan dari balik pintu.
“Waalaikumsalam” aku jawab salamnya dari dalam dapur
kemudian fokus lagi pada pekerjaanku. Darimana dia? Semalam dia tidur dimana?
Ahh aku tak peduli apapun yang dia lakukan.
“De, bisa buatkan abang segelas teh hangat?” pintanya.
Aku berdehem. Aku tidak akan berbicara dengannya, meskipun kami sudah menikah.
Sekali lagi, pernikahan ini tidak pernah ku inginkan sebelumnya.
Lama aku menunggu air matang, sambil aku buat racikan teh
dan gula di dua gelas. 10 menit kemudian aku mengantarkan teh panas itu ke
ruang tamu. Kosong, tak ku dapati Bang Hasan duduk di sana. Oh mungkin dia di
teras depan rumah, pikirku. Sejurus kemudian aku kesana, tak ada. Kemana dia?
Rumah mungil kami terletak di pinggir kota Jogja yang
asri dan adem, hawanya sama seperti rumahku di Solo. Halaman depan tampak bunga
bougenville merah muda disana sini dan pohon mangga gadung yang sedang berbunga. Jumlahnya sekitar tiga pohon
mangga gadung dan satu pohon mangga manalagi yang masih kecil namun sudah
berbuah.
Cabe rawit di pot yang sedang berbuah itu tak kalah
meramaikan asrinya rumah mungil kami. Hampir setiap pinggir halaman rumah ada
pot cabenya. Mungkin Bang Hasan suka bercocok tanam sehingga bisa seperti ini.
Lumayanlah menghemat pengeluaran untuk membeli cabe yang harganya lagi meroket.
Aku taruh teh panas ini di atas meja di teras rumah. Bang
Hasan tidak ada, kemana perginya lagi? Merepotkan saja, susah-susah aku
bikinkan teh eh dia pergi lagi entah kemana. Aku gondok.
Sekilas aku ingat Nur sahabatku di Solo, aku lupa
memberitahunya kalau aku sudah sampai di Jogja. Kemudian aku bergegas mengambil
handphone ku di kamar.
Krrreeeekkk,,,pintu kamar tidak tertutup rapat dan
seingatku tadi aku sudah menutupnya, aku kunci malah. Aku langsung masuk, dan
tertegun sejenak ketika di tempat tidur aku dapati Bang Hasan tertidur pulas.
Oh dia di sini rupanya. Aku langsung mengambil hp-ku yang tergeletak di atas
meja.
∞ ∞ ∞
Usia pernikahan kita memang sudah terbilang lama, 2 tahun.
Selama itu pulalah belum ada rasa cinta sedikitpun untuk Bang Hasan yang
bertengger di hatiku. Mungkin karena aku tidak berniat mencintainya.
Selama 2 tahun itu kita tidak pernah mengobrol, bicara
hanya seperlunya saja. Pernikahan macam apa ini, aku masih selalu saja
menyalahkan ibuku. Pernah suatu hari aku telpon ibu dan aku jelaskan maksudku
untuk bercerai dengan Bang Hasan. Tapi lagi-lagi ibu selalu memarahiku.
“Diah, perceraian itu sangat tidak dianjurkan dalam agama
kita. Dengan alasan apa kamu minta cerai dari suamimu? Apa alasanmu itu masuk
akal?” cerca Ibu. Aku tahu, ibu tidak akan pernah tinggal diam jika ada sedikit
keburukan saja. Selain berlatarbelakang pesantren di keluarganya juga tidak ada
yang bercerai dari keturunan neneknya. Itulah sebabnya ibu selalu mewanti-wanti
agar tidak ada yang bercerai di keluarga anak-anaknya nanti.
“Semua masalah
pernikahan bisa diselesaikan tapi bukan dengan jalan perceraian”,gertak
ibu.
Jika Ibu sudah bilang seperti itu, aku tak punya alasan
apapun menolaknya. Aku tidak mau dianggap anak durhaka. Yang aku tahu sebutan
sepeti itu hanya pantas untuk tokoh Malin Kundang dalam cerita rakyat, bukan
untuk aku.
Dengan manggut dan mengiyakan semua permintaan ibu adalah
jalan satu-satunya aku tidak disebut anak durhaka. Meski dunia seperti neraka
jahanam karena pilihan Ibu begitu juga pernikahan ini. Mungkin hal itu juga yang dirasakan oleh
kedua kakakku. Menikah atas pilihan ibu.
Di keluarga kami ibu yang sangat berperan menentukan semua
pilihan hidup kami bertiga, putri-putrinya. Ayah pasti juga akan mengiyakan apa
perkataan ibu. Aku juga masih tidak percaya masih ada aja orang tua yang kolot.
Sehari-hari aku hanya berkutat di dalam dapur, masak,
nyuci, ngepel, nyapu dan bersih-bersih. Aku juga harus merawat tanaman yang
sudah ditanam Bang Hasan di depan halaman maupun belakang rumah. Sayang kalau
tidak dirawat. Bunga-bunga akan bermekaran di musim penghujan seperti musim
semi di Jepang.
Sebenarnya aku adalah lulusan sarjana teknik sipil di
salah satu perguruan tinggi negeri di Solo. Berhubung setelah lulus kuliah aku
langsung dinikahkan dengan Bang Hasan jadi tak sempat aku mengabdikan ilmu yang
selama ini aku peroleh di bangku kuliah ke masyarakat. Sayang banget
sebenarnya, percuma saja aku kuliah capek-capek dan berakhir menjadi ibu rumah
tangga.
Sempat keinginanku bekerja aku bicarakan dengan Bang
Hasan, namun ditolaknya. Alasannya adalah karena dia masih bisa mencukupi
kebutuhan rumah tangga. Menurutku bukan hanya cukup namun juga berlebih. Wajar,
itu karena jabatan dia sebagai atasan di kantornya dan karirnya sudah memuncak
sejak dia diterima bekerja di kantor telekomunikasi itu.
Pintar, namun juga tetap rendah hati. Kaya namun tidak
pernah sombong. Narimo ing pandum dan
juga bagus akhlaknya, itu kata Ibu beberapa hari setelah perkenalan kami dulu.
Itu yang kurasakan selama 2 tahun ini. Mungkin tepat pilihan ibu ini. Namun
mengapa cinta belum bisa hadir di
hatiku?
Selama 2 tahun itu tak pernah Bang Hasan
memarahiku. Jika aku membuat kesalahan, dia hanya senyum tipis dan menenangkan
bahwa kesalahanku itu bisa diperbaiki. Misalnya, ketika aku sedang menyetrika
sambil menonton tv, aku selalu menghanguskan salah satu bajunya atau bajuku
yang sedang disetrika karena aku hanya asyik menonton tv tanpa memperhatikan
setrikaan. Jika sudah begitu dia hanya akan tersenyum mendapati bajunya ada
yang robek.
Lain waktu kesalahan yang sering aku
perbuat adalah lupa menyalakan tombol on di rice
cooker ketika menanak nasi. Alhasil, ketika perut sudah keroncongan dan
nasi belum matang pun dia tetap tersenyum.
Aku mengerutkan dahi ketika mengingat
semua keteledoranku dalam mengerjakan sesuatu. Kadang aku memarahi diriku
sendiri mengapa kebiasaanku satu ini sulit sekali hilang. Bahkan sampai berumah
tangga sekarang ini. Diah, Diah ngidam apa dulu ketika Ibu mengandung kamu.
Tapi anehnya, selalu senyum yang ku dapati dari seorang yang ku sebut suami itu
dengan ke-tulalitan-ku itu.
∞ ∞ ∞